Langsung ke konten utama

Ahh.. Mom: Love and Hate, Disaat yg Bersamaan

Kejadian dipagi hari ini bikin gue pengen curhat lagi soal ini. Curhat ini panjang, i warn you. Hehee

As i told you before, hubungan gue sama mom bukan tipe yg harmonis layaknya seorang sahabat baik, malah lebih kayak anjing sama kucing. Meooww.. Errr.. Bukannya gue kurang ajar apalagi durhaka kayak maling kundang, gue rasa permasalahan hubungan gue sama mom cuma beda selera, beda pendapat, beda sensitivitas, beda cara berkomunikasi sama beda prinsip.

Kadang gue bingung sendiri, gimana kok bisa gue yg darah daging beliau bisa begitu 180 derajat begitu berbeda dalam segala hal. Bukannya karena ada darah beliau ditubuh gue bikin gue kompak dengan beliau? Ternyata nggak. Dari apa yg mom coba tanamkan sedari gue kecil, justru gue tumbuh menjadi kebalikan dari harapan beliau. Gue nggak pintar(-pintar amat), gue lantang bersuara saat gue ngerasa nggak dapet keadilan (siapapun itu meski itu presiden sejagat raya) plus gue orangnya open-minded.

Dulu, gue ngerasa stres sendiri, berasa nyesek banget tinggal dikondisi dimana elu nggak sehati dan sejalan plus mengalami bully dari seseorang yg seharusnya memberikan kasih sayang dan pengertian, bukan hujatan apalagi sumpah serapah juga underestimate seperti yg selama ini gue terima. Kadang gue mikir, pasti di seluruh dunia ini gue yg paling sabar, melebihi sabar anak tiri yg di siksa emaknya seperti ada di film2.

Kesannya kejam memang, tapi mau gimana lagi, itulah mom gue, gue kan nggak bisa milih siapa yg bakal jadi emak gue kelak, kalo boleh milih sih gue milih mamah dedeh *ngekek. Bertahun-tahun gue kesiksa batin tanpa diperdulikan apakah gue kesiksa apa nggak oleh mom dengan “kurikulum”-nya yg ajaib itu, gue tumbuh menjadi orang yg berkebalikan dengan beliau and she hates that.

Mom gue punya background di bidang pendidikan, jadi untuk soal pendidikan beliau getol betoooll. Sejak dari kecil gue “dipaksa” untuk jadi juara. Entah apa memang ini karena pengaruh darah beliau, gue emang suka belajar dan cari pengalaman, tapi begoknya gue nggak terlalu mementingkan nilai akademis yang memang di negeriku tercintah ini kadang jadi patokan (yang terkadang) absolute untuk sebuah kepintaran, padahal hell yeah menurut gue, percuma nilai akademis bagus tapi nggak benar2 menyelami ilmu yg didapat dan mengaplikasikannya, kebanyakan sih cuma dihapal habis itu nguap begitu ujian selesai, cuma berorientasi nilai. Prinsip gue soal pendidikan itu yg dianggap mom : “bodoh”, tapi well, gue tetep kejar nilai sebagai syarat kelulusan dari instansi terkait, masa gue nggak lulus cuma karena kekeuh sama prinsip sendiri. Hahaa..

Perbedaan sikap mom untuk gue dan adek gue. Gue ngerasa itu nggak adil. Itu ngebuat gue jadi sering protes ke mom. Salah? Mom gue juga kadang sering nyuruh gue mesti adil kalo bagi2 sama adek (kalo entah itu dapet kado atau sesuatu yg lain), gue berusaha adil dong, itu justru jadi prinsip gue sampe sekarang, kan ajaran yg baik perlu diikuti terutama untuk nilai sebuah keadilan. Etapi mom bukan tipe yg punya prinsip tegas tuh. Prinsipnya itu semau-mau-nya dan sesuai dengan sikon.

Kadang prinsip beliau lebih mirip dengan 3 pasal pembantaian yg (sialnya) terpaksa gue harus hapal sewaktu ospek pas SMP. Isinya yang pertama yaitu senior nggak pernah salah. Dan beliau memang ngerasa diri nggak pernah salah apalagi yg cuma kesalahan sepele, rasanya gue jarang denger mom bilang minta maaf sama anak2nya, padahalkan minta maaf itu penting, meski gue anaknya juga kan gue manusia, tapi ya itulah mom gue, nggak pernah ngerasa salah, checked! Yg kedua, junior selalu salah. Me? Apapun yg gue lakukan nggak pernah sempurna di mata mom, apapun selalu ada kurangnya meskipun alasan kekurangan itu sepele dan kadang nggak masuk akal, checked! *ngeek. Yg ketiga, kalo senior salah, balik lagi ke pasal 1. Hahahaa.. Dem rait, ini yg kadang bikin gue ngakak sambil nangis dalam hati. Saat kesalahan dan keputusan mom begitu kelihatan salahnya, beliau menggunakan pasal ini dengan mencari segala celah untuk melakukan pembenaran diri, checked!Ahahah..

After all, gue nggak bisa benar2 benci sama mom gue. Serius, nggak bisa. Pernah suatu ketika gue coba benci, etapi baliknya ke sabar aja menghadapi sikap mom, toh semua itu karena beliau sayang sama gue meski caranya nggak bisa gue terima dengan menyenangkan dan justru bikin gue stres apalagi beliau nggak mau peduli kalo gue sakit dengan cara perhatian beliau itu. Kalo gue analogikan dengan cara memegang burung kecil kesayangan, alih2 mom pegang gue dengan cara yang tepat, mom begitu sayang (dan mungkin gemes) sampe gue jadi sesak sendiri (meski gue nggak mati di pegang begitu, tapi at least rasanya gue koma *jiwa-gue*).

Dan seharian ini gue mogok ngomong dengan beliau. Meski juga bukan mogok dari bantu-bantu beres-beres rumah, tapi gue berusaha untuk nggak nunjukin ekspresi apapun, entah itu gue ngambek, gue manyun dan juga bukan gue senyum atau nyengir. Biarlah, toh kalo gue ngomong ujung2nya jadi berdebat, masalah dan lagi2 gue dianggap pembangkang karena enggan buat seiya-sekata juga hormat dengan sikap beliau yg kurang menyenangkan. Hhhh… Seumur-umur gue punya relasi dengan orang, gue punya batasan perasaan jelas antara benci, nggak suka (setengah benci), suka, dan cinta. Tapi dengan mom?

"I hate and love you at the same time, mom. Same time…"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jangan

Jangan jadikan aku istrimu, jika nanti dengan alasan bosan kamu berpaling pada perempuan lain. Kamu harus tahu meski bosan mendengar suara dengkurmu, melihatmu begitu pulas. Wajah laki-laki lain yg terlihat begitu sempurnapun tak mengalihkan pandanganku dari wajah lelahmu setelah bekerja seharian. Jangan jadikan aku istrimu, jika nanti kamu enggan hanya untuk mengganti popok anakmu ketika dia terbangun tengah malam. Sedang selama sembilan bulan aku harus selalu membawanya di perutku, membuat badanku pegal dan tak lagi bisa tidur sesukaku. Jangan jadikan aku istrimu, jika nanti kita tidak bisa berbagi baik suka dan sedih dan kamu lebih memilih teman perempuanmu untuk bercerita. Kamu harus tahu meski begitu banyak teman yang siap menampung curahan hatiku, padamu aku hanya ingin berbagi. Dan aku bukan hanya teman yg tidak bisa diajak bercerita sebagai seorang sahabat. Jangan jadikan aku istrimu, jika nanti dengan alasan sudah tidak ada kecocokan kamu memutuskan menjatuhkan talak padaku. K

Suratku Untuk Mama Setelah Menikah

Mamaku tersayang, Seperti semua gadis lainnya, aku sangat bahagia membayangkan bagaimana jika aku menikah nantinya dan menghabiskan seluruh waktuku bersama pangeran hatiku. Tapi setelah aku menikah, aku menyadari bahwa dalam pernikahan itu tidak semuanya kelopak mawar. Hingga lupa akan durinya. Aku tidak bisa bangun di waktu yg kusenangi. Aku diharapkan bangun dan selesai lebih dulu dibanding seluruh orang dalam keluarga. Aku tidak bisa mengenakan piyama seharian. Aku tidak bisa keluar rumah kapanpun aku mau. Aku dituntut untuk peka dengan seluruh kebutuhan keluarga. Aku tidak bisa bermalas-malasan di kasur kapanpun aku suka. Aku harus aktif dalam keluarga. Aku tidak bisa berharap dilayani seperti Tuan Putri. Akan tetapi akulah yg harus menjaga dan merawat semua orang di dalam keluarga sehingga terpenuhi kebutuhannya. Kemudian aku berpikir “Kalau begini, untuk apa aku menikah?”  Aku lebih bahagia denganmu, Ma. Aku ingin pulang ke rumah dengan makanan kesukaanku yg sudah terhidang di a

Rasa Jadi Kata

Diamku Bukan Berarti Tanpa Luka. Sebenarnya Hatiku Meranggas di Bawah Sana Nampaknya kita punya definisi berbeda dalam mengartikan cinta. Buatku, cinta berarti komitmen dan kesetiaan. Sementara bagimu, cinta tak lebih dari ucapan yg bisa dikeluarkan tanpa memerlukan pembuktian. Jika memang kamu peduli, diamku selama ini pasti mudah kau sadari. Ketika kamu dengan mudahnya menggeser perhatian dariku ke teman perempuanmu. Ketika kau dengan genit flirting di media sosial, yg jelas-jelas bisa dengan mudah kutahu. Juga soal kebiasaanmu menatap layar ponsel ketika kita bersama, sementara justru tak terjangkau saat aku membutuhkanmu. Aku bukan orang yg mudah membagi perasaan hati. Sakit kupilih kusimpan tanpa repot berbagi. Tapi dalam diamku, ada doa yg kusimpan sendiri. Semoga suatu hari nanti, kamu bisa mengerti. Terbuat dari batukah hatimu? Tak sadarkah kau akan diamku yg sebenarnya jadi tameng pilu? Di matamu bisa saja aku tampak seperti manusia penyabar yg tak pernah mengekspresikan