Langsung ke konten utama

Rasa Jadi Kata

Diamku Bukan Berarti Tanpa Luka. Sebenarnya Hatiku Meranggas di Bawah Sana

Nampaknya kita punya definisi berbeda dalam mengartikan cinta. Buatku, cinta berarti komitmen dan kesetiaan. Sementara bagimu, cinta tak lebih dari ucapan yg bisa dikeluarkan tanpa memerlukan pembuktian.

Jika memang kamu peduli, diamku selama ini pasti mudah kau sadari.

Ketika kamu dengan mudahnya menggeser perhatian dariku ke teman perempuanmu. Ketika kau dengan genit flirting di media sosial, yg jelas-jelas bisa dengan mudah kutahu. Juga soal kebiasaanmu menatap layar ponsel ketika kita bersama, sementara justru tak terjangkau saat aku membutuhkanmu.

Aku bukan orang yg mudah membagi perasaan hati. Sakit kupilih kusimpan tanpa repot berbagi. Tapi dalam diamku, ada doa yg kusimpan sendiri. Semoga suatu hari nanti, kamu bisa mengerti.

Terbuat dari batukah hatimu? Tak sadarkah kau akan diamku yg sebenarnya jadi tameng pilu?

Di matamu bisa saja aku tampak seperti manusia penyabar yg tak pernah mengekspresikan emosi. Memang, selama ini sakit kupilih kusimpan sendiri. Tapi bukan berarti indraku tumpul dalam mengamati. Dalam diam, sesungguhnya segala tingkah lakumu tak pernah lepas dari ujung mata ini.

Kadang aku bertanya, tak sadarkah dirimu bahwa ada luka di hati orang yg selama ini mendampingi? Tak bergetarkah perasaanmu waktu aku memilih menyimpan perih dengan memasang muka pura-pura mengerti?

Dalam diam, kau berusaha kupahami. Entah aku yg terlalu bodoh atau memang kau sudah tak punya hati. Tindakan serupa yg mengiris hati terulang tak cuma sekali.

Tapi malas rasanya mengungkit kesalahan dan mengumbar emosi. Membagi keluh pada khalayak bukanlah sifatku. Rasanya itu sama sekali tak perlu. Diam, selama ini sukses jadi tameng pilu.

Soal meluluhkan hati kau memang ahlinya. Di sisimu aku terombang-ambing dalam biduk yg berisi sedih dan bahagia

Bersamamu aku selalu bisa tertawa, tapi apa hanya aku satu-satunya yg kau buat bahagia?

Soal memenangkan hati kau memang ahlinya. Kata-katamu yg manis membuat keraguanku hilang seketika. Dengan mudahnya aku hanyut pada rayuanmu, mempercayai janji-janji yg kau berikan padaku. Perasaan yg mulai meragu selalu kembali luluh ketika kamu mulai berseloroh. Senyum kembali mengembang. Perasaan naif kembali datang, menerbangkanku, membuat aku lupa dengan kedongkolanku.

Kamu memang pandai merebut perhatianku, tapi apa kelihaianmu itu hanya kau praktekkan padaku?

Di sisimu senyum dan kesakitan rutin datang bergantian. Dalam sekejap kau bisa membuatku tersenyum, tapi tak butuh waktu yg lama juga kau membuatku kembali terdiam. Kembali hanyut dalam kesakitan. Kembali mengelus dada karena perilakumu yg menyakitkan.

Sebenarnya mudah saja untuk meradang demi memaksamu berubah. Tapi bukankah kesadaran yg dipaksakan tak mungkin indah ?

Aku tak ingin mengekangmu dalam hubungan ini.

“Kalau memang kamu tak suka, bilang saja padaku. Bagaimana aku bisa tahu kalau perasaanmu hanya disimpan begitu?”


Kau selalu berpendapat, kalau ada yg membuatku resah nyatakan saja. Tanpa aku menyatakan kau tak akan pernah tahu, katamu.

Aku tahu tidak adil menyalahkanmu ketika aku tak menunjukkan sikapku. Aku bisa saja meradang, memintamu tidak lagi melakukan kebiasaan yg menganggu perasaanku. Tapi yg kuingin bukan hubungan macam itu.

Aku tak ingin memaksamu berubah, hanya demi menjaga hatiku agar tak pindah. Tak tepat rasanya jika membuat hubungan kita jadi kerangkeng yg lama-lama hanya membuat lelah. Jika pun kau berubah, kuingin itu hanya karena hatimu tergugah. Bukan sebab aku yg ingin kau mengubah arah langkah.

Sudah lelah rasanya kepalaku dipenuhi berbagai pertanyaan. Kali ini aku hanya ingin diam sembari meluruskan perasaan

Mungkin aku memang cemburu, tapi aku terlalu malu untuk mengaku.

Kuakui aku memang terlalu gengsi untuk mengatakan padamu bahwa aku cemburu. Bahwa aku tak suka dengan sikapmu yg liat. Bahwa bukan hanya aku yg menjadi perhatianmu. Bahwa bukan aku satu-satunya perempuan yg tersenyum karena buaianmu. Dengan diamku, aku tak ingin menunjukkan kekecewaanku padamu.

Tak pernah kah kau sadar? Yg kau perbuat membuatku tak pernah cukup percaya diri pada diriku. Aku sering mengira apa kau terlalu malu mengakuiku sebagai kekasihmu? Apa kau tak pernah merasa keberadaanku di sisimu? Atau mungkin aku memang tak cukup membuatmu bangga?

Doaku sebenarnya sederhana. Kamu bisa mengerti cara menjaga perasaanku, itu sudah cukup melegakan dada

Yg aku ingin tak banyak, kau bisa menjaga perasaanku.

Semua perempuan, tentu ingin memiliki cinta yang hanya diberikan untuknya. Tak ada perempuan yg tak senang diperlakukan sebagai satu-satunya permaisuri di hati lelakinya. Begitu pula denganku. Permintaanku cukup sederhana. Aku tak perlu menjadi Roro Jonggrang yg memberimu syarat yg tak cukup kau penuhi dalam sekejap. Aku juga tak menuntutmu menjadi manusia yg berbeda. Permintaanku cukup sederhana. Aku hanya ingin kau bisa belajar untuk menjaga perasaanku. Membuatku selalu merasa tenang dan nyaman menjadi kekasihmu.

Dengan diam, aku berharap kamu dapat mendengar rintihan hatiku. Aku yg masih percaya kamu mampu mengerti apa yg kurasa dan mencoba berubah. Dalam diamku, kuyakin cinta akan menemukan jalannya.

Dalam diam, aku selalu berdoa semoga tiba saatnya kau jadi lebih dewasa dan bisa membuatku terasa lebih berharga.

Aku tetap berharap suaatu saat kamu bisa berubah.

Kata berpisah tak pernah terlintas sedikitpun dalam kepala. Meski kerap kali aku merasa terluka, aku tak pernah ingin berpisah. Di luar sikapmu yg serampangan, kamu lelaki terbaik yg rela menemani dan mengisi hari-hariku. Bersamamu, aku menemukan dunia yg kucari. Kesakitan ini hanya akan kusimpan dalam diam tanpa perlu mengungkapnya padamu atau siapapun. Biar ini menjadi cerita bagi diriku sendiri.

Kekasihku, dalam diam, aku berdoa. Kuuraikan semua piluku dalam keheningan bersama-Nya. Aku optimis ini hanyalah gejolak mudamu yg masih belum terlalu paham atas menjaga hati. Aku yakin suatu saat kedewasaan akan membawamu sadar. Aku terus berharap ada saatnya kamu membuat diriku merasa lebih berharga. Kelak, kau bisa memperlakukanku seperti ratumu dan membuatku merasa menjadi perempuan paling bahagia di dunia. Dalam diam, aku akan terus berdoa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jangan

Jangan jadikan aku istrimu, jika nanti dengan alasan bosan kamu berpaling pada perempuan lain. Kamu harus tahu meski bosan mendengar suara dengkurmu, melihatmu begitu pulas. Wajah laki-laki lain yg terlihat begitu sempurnapun tak mengalihkan pandanganku dari wajah lelahmu setelah bekerja seharian. Jangan jadikan aku istrimu, jika nanti kamu enggan hanya untuk mengganti popok anakmu ketika dia terbangun tengah malam. Sedang selama sembilan bulan aku harus selalu membawanya di perutku, membuat badanku pegal dan tak lagi bisa tidur sesukaku. Jangan jadikan aku istrimu, jika nanti kita tidak bisa berbagi baik suka dan sedih dan kamu lebih memilih teman perempuanmu untuk bercerita. Kamu harus tahu meski begitu banyak teman yang siap menampung curahan hatiku, padamu aku hanya ingin berbagi. Dan aku bukan hanya teman yg tidak bisa diajak bercerita sebagai seorang sahabat. Jangan jadikan aku istrimu, jika nanti dengan alasan sudah tidak ada kecocokan kamu memutuskan menjatuhkan talak padaku. K

Suratku Untuk Mama Setelah Menikah

Mamaku tersayang, Seperti semua gadis lainnya, aku sangat bahagia membayangkan bagaimana jika aku menikah nantinya dan menghabiskan seluruh waktuku bersama pangeran hatiku. Tapi setelah aku menikah, aku menyadari bahwa dalam pernikahan itu tidak semuanya kelopak mawar. Hingga lupa akan durinya. Aku tidak bisa bangun di waktu yg kusenangi. Aku diharapkan bangun dan selesai lebih dulu dibanding seluruh orang dalam keluarga. Aku tidak bisa mengenakan piyama seharian. Aku tidak bisa keluar rumah kapanpun aku mau. Aku dituntut untuk peka dengan seluruh kebutuhan keluarga. Aku tidak bisa bermalas-malasan di kasur kapanpun aku suka. Aku harus aktif dalam keluarga. Aku tidak bisa berharap dilayani seperti Tuan Putri. Akan tetapi akulah yg harus menjaga dan merawat semua orang di dalam keluarga sehingga terpenuhi kebutuhannya. Kemudian aku berpikir “Kalau begini, untuk apa aku menikah?”  Aku lebih bahagia denganmu, Ma. Aku ingin pulang ke rumah dengan makanan kesukaanku yg sudah terhidang di a